Sabtu, 27 Juni 2009

Kemarauku di bulan Juni

Hari-hari hujan di bulan Juni..
Ku pikir Juni haruslah bermusim kemarau.. mungkin karena global warming. Atau memang musim terus berganti giliran turun ke bumi?

Aku ingat benar musim kemarau di hari-hariku sewaktu SD. Aku tinggal di desa dengan sawah luas membentang. Jauh, mulai di belakang kantor Kelurahan hingga batas kelokan ujung jalan. Setiap kemarau datang aku, kadang bersama kakakku, akan main ke sawah yang mulai mengering. Begitu juga anak-anak tetangga sebaya kami.

Setelah sarapan aku akan menghambur turun ke sawah. Berlarian di antara batang-batang padi yang telah begitu pendek, sisa dari panen musim ini. Warnanya mulai coklat karena mengering. Beberapa batang masih tumbuh dengan bulir-bulir padi. Aku dan teman-temanku akan menunggu sampai batang padi kecil itu benar-benar menunduk & bulirnya menguning tanda masak.

Bila tiba waktunya, kami akan berpura-pura menjadi petani. Dengan riang memanen sisa tamanan padi yang tak seberapa banyaknya. Hasil panenku akan ku bawa pulang untuk ku tunjukkan ke Bunda, seakan-akan batang padi dalam genggamanku itu adalah hasil taniku yang berharga & ku tunggu panennya berpuluh tahun. Bunda hanya tertawa dengan tingkah bungsunya..

Hal lain yang begitu menggoda saat kemarau adalah bunga rumput. Karena sawah tidak ditanami, rumput pun tidak disiangi. Tumbuh subur diantara tanah yang retak karena panas kemarau. Aku merasa retakan-ratakan itu justru terlihat cantik. Walau semakin lama retakan itu semakin lebar seiring kemarau yang kian menyengat.

Seorang temanku pernah bilang, ”Aku takut kalau kepeleset di sawah. Nanti kalau masuk ke situ itu aku jatuh ke dalam bumi & enggak bisa keluar..” katanya setengah berbisik.
Kami lalu terdiam lama, berpikir tentang kemungkinan kami akan tertelan bumi jika terpeleset masuk dalam retakan tanah yang menganga itu. “Kayaknya enggak deh,” kataku. “Kan tubuh kita lebih besar, palingan kamu kejepit. Tapi nggak bisa keluar lagi.”
Wajah temanku memerah, lalu berlari keluar sawah. Menangis.
“Emaaaaaaaaakkk...” dia berteriak membuat semua orang berpaling melihat. Aku hanya berdiri tertegun. Wondering why..

Bunga rumput, bagiku, adalah bunga yang istimewa. Unik. Walau tak ada yang semerah mawar ataupun seharum melati. Baunya khas. Masing-masing rumput punya aroma yang berbeda tapi aku sangat suka. Memetik bunga-bunga rumput sungguh menyenangkan. Ada beraneka macam bentuk, ukuran dan wariasi warna. Hijau, putih, kuning, merah muda atau coklat.

Satu persatu kuperhatikan bunga rumput itu. Dengan seksama ku pilih. Mana yang layak aku petik. Mana yang paling menarik & cantik. Aku bisa menjelajah satu petak yang begitu luas hingga ke petak lainnya hanya untuk menemukan variasi bunga yang ku inginkan. Seolah meramu obat mujarab untuk penyakit kronis. Komposisinya harus lengkap. Kualitasnya harus terbaik. Tak peduli panas menyengat. Tak peduli teman-temanku mulai asyik mengadu layangan. Toh aku selalu kalah saat adu layangan dengan beberapa anak laki-laki.

Setelah mendapatkan hasil buruan yang cukup, aku akan memboyong bunga-bunga itu ke rumah. Buru-buru aku mencari gelas besar & kuisi air. Aku akan mulai merangkai bunga-bunga rumput itu satu persatu, layaknya seorang ahli ikebana. Meruncingkan ujung batang, memotong daun-daun yang tak perlu. Mengatur ketinggian tiap rumput. Mengamati perbandingannya agar sesuai.

Setelah merasa cukup aku akan mengamatinya baik-baik. Memutar-mutar gelas itu perlahan, melihat sisi mana yang dirasa kurang & perlu dipercantik. Mengingat perpaduan antara rumput apa & apa yang paling bagus, untuk dipetik & kurangkai lagi lain hari. Hasil rangkaianku pasti nongkrong di meja tamu. Kepedean. Hehehehe... Entah diijinkan atau tidak. Entah penghuni rumah yang lain suka atau tidak.

Saat aku kuliah pun aku masih melakukannya. Pernah saat Bundaku menjalani operasi & aku menunggui sepanjang hari, aku merangkai bunga rumput. Waktuku telalu berharga bila dihabiskan keluar rumah sakit untuk membeli bunga segar. Pagi hari, sebelum Bundaku terbangun, aku keliling rumah sakit. Memetik satu-satu bunga rumput berbentuk cemara mungil. Merangkainya dalam botol Aqua yang ku potong separo, karena gelas besarku tak ku bawa. Menaruhnya di meja dekat kasur Bunda. Beliau tersenyum. “Khas anak bungsuku.”

Sampai sekarang pun, kadang aku masih merangkai bunga rumput. Walau tak lagi berlarian di sawah. Walau aku tak lagi nenunggu musim panas membuat retak tanah sawah.
Tapi aku tak sendiri lagi menikmati duniaku. Karena kali ini aku memiliki partner yang juga menyukai rumput sepertiku. Yang menyukai ikebana bunga rumput sepertiku. Dia, kekasihku.

Kami pernah memetiki rumput kuning dan merah jambu di depan stadion. Menggulungnya dengan koran agar tidak rusak. Masing-masing membawa pulang satu gulungan. Merangkainya di gelas besar masing-masing. Aku tentu saja, tetap menaruh ikebana bunga rumputku di ruang tamu. Sedangkan dia, menaruhnya di meja kerjanya, lalu mengirimkan fotonya padaku.

Musim panasku sewaktu kecil dulu.. Walau setiap selesai melakukan “kerja” ber-ikebana badanku selalu gatal-gatal. Walau Bunda selalu memarahiku yang pemalas ini agar segera mandi. Tapi aku selalu merasa senang. Tentu, kegiatan ikebana bunga rumput & dimarahi biar cepet mandi terus berulang keesokan harinya dan keesokannya lagi. Aku tidak pernah bosan. Selalu mengesankan.

Lalu saat hujan mulai datang aku akan menunggu hingga kemarau tahun depan datang lagi. Hingga ku bisa kembali berlarian diantara batang padi kecoklatan yang menyapu betisku.. Sekali lagi mengamati tanah retak di bawah kakiku, memetik bunga-bunga rumput beraneka warna, lalu merangkainya dalam gelas besarku.
Sekali lagi.
Aku sungguh merindukan kemarauku di bulan Juni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar